LINDOnews — Fenomena penjualan boneka Labubu yang sempat mencetak rekor kini mulai mengalami penurunan. Berdasarkan riset Nomura, satu edisi blind box Labubu sebelumnya dapat dijual kembali hingga lebih dari 2.000% di atas harga eceran. Namun, dalam beberapa waktu terakhir, pasar menunjukkan tanda kehilangan momentum dengan harga yang merosot hingga separuh atau lebih, membuat sebagian penjual panik.
Pop Mart, perusahaan mainan asal Tiongkok yang menjadi pencipta Labubu, menyatakan bahwa penurunan ini sejalan dengan visi mereka. “Produk kami dibuat untuk mereka yang benar-benar terhubung dengan seni dan kebahagiaan yang dihadirkannya. Membuat karya seni ini lebih mudah diakses adalah kunci bagi kami,” ujar Pop Mart dalam pernyataan resmi kepada CNBC Internasional. Perusahaan menegaskan bahwa jika pembelian hanya didorong oleh spekulasi keuntungan, model tersebut tidak akan bertahan lama.
Ashley Dudarenok, pendiri perusahaan riset ChoZan, menilai Pop Mart kini beralih ke pendekatan yang lebih stabil dan berkelanjutan setelah sebelumnya membiarkan harga jual kembali melambung. Menurutnya, pasar barang bekas memang sempat memperkuat popularitas Labubu, namun dalam jangka panjang justru berisiko mengalienasi pelanggan setia.
Pop Mart sendiri telah meningkatkan kapasitas produksinya hingga 30 juta unit per bulan, sepuluh kali lipat dari tahun sebelumnya, guna merespons keluhan terkait praktik calo. Meski demikian, analis menyoroti faktor tambahan berupa penurunan permintaan, khususnya di Tiongkok daratan dan untuk edisi lama. Hal ini memicu spekulan melepas stok mereka karena khawatir sulit menjual di masa depan.
Saham Pop Mart tercatat turun 16% dalam sebulan terakhir, meski sepanjang tahun ini masih naik lebih dari 200%, menurut data LSEG. Perusahaan tidak meraup keuntungan dari pasar sekunder, melainkan dari penjualan langsung. Namun, atmosfer kelangkaan yang sempat tercipta terbukti mendongkrak hype dan popularitas.
Ke depan, analis memperkirakan produk andalan Pop Mart, termasuk Labubu, masih akan bertahan kuat setidaknya hingga tahun depan, terutama melalui ekspansi ke Amerika Utara dan Asia-Pasifik. Selain blind box, Pop Mart juga memperluas bisnisnya ke taman hiburan, kolaborasi dengan merek global seperti Uniqlo, Disney, dan Coca-Cola, serta mengembangkan animasi orisinal untuk memperkuat karakter.
“Ujian sesungguhnya bagi Pop Mart bukan sekadar mempertahankan popularitas Labubu, tetapi bagaimana menghidupkan kembali tren ketika hype mereda,” ujar Jeff Zhang, analis Morningstar. Sementara itu, Dudarenok menggambarkan tim Pop Mart sebagai “antropolog masa kini” yang terus mempelajari konsumen niche demi melahirkan karakter relevan. Ia meyakini Pop Mart masih akan menghadirkan inovasi mengejutkan di tahun-tahun mendatang.