Jakarta, LINDOnews – Indonesia menjadi salah satu negara pengekspor kulit biawak terbesar di dunia. Di balik tingginya angka ekspor, para ahli menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara pemanfaatan ekonomi dan upaya konservasi.
Berdasarkan data kuota dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2024, sebanyak 476.000 ekor biawak diizinkan untuk diperdagangkan pada tahun ini. Dari jumlah tersebut, 468.560 ekor dialokasikan khusus untuk ekspor kulit. Kuota ini tersebar di 18 provinsi, dengan Sumatera Utara mendapatkan alokasi terbesar.
Baca : 271 Pejabat Dilantik Gubernur Sultra, Terselip Nama Eks Terpidana Korupsi
Prof. Mirza Dwi Aria, seorang ahli herpetologi dari IPB University, menjelaskan bahwa biawak juga dimanfaatkan untuk konsumsi daging dan pengobatan tradisional di beberapa daerah. Bahkan, di sebagian wilayah, biawak dianggap sebagai hama.
“Penelitian mahasiswa IPB menunjukkan biawak juga dimanfaatkan untuk konsumsi daging dan obat tradisional. Di beberapa daerah, hewan ini dianggap hama,” ujarnya, seperti dikutip dari situs web IPB University pada Rabu (22/10/2025).
Baca : MTs Negeri Kota Sorong Peringatan Hari Santri 2025, Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia
Di Jawa Barat, terdapat kelompok pemburu biawak yang menggunakan anjing untuk menangkap hewan tersebut, baik untuk dijual maupun dikonsumsi.
Biawak air (Varanus salvator) adalah predator oportunistik dan pemakan bangkai yang berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Mereka memangsa berbagai jenis hewan, mulai dari ikan, reptil kecil, burung, hingga mamalia kecil. Selain itu, biawak juga membantu membersihkan lingkungan.
“Mereka juga membantu membersihkan lingkungan,” kata Prof. Mirza.
Interaksi antara biawak dan manusia semakin sering terjadi, terutama di wilayah perkotaan. Ketika predator alami berkurang dan sumber makanan melimpah, biawak dapat masuk ke permukiman. Bahkan, ditemukan kasus biawak memangsa anak kucing di kawasan perkotaan.
Secara regulasi, biawak air tidak termasuk dalam daftar satwa dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri LHK No. P.106/2018. Namun, perdagangan internasionalnya diawasi melalui CITES Appendix II. Ini berarti ekspor hanya diperbolehkan jika memenuhi kuota, memiliki izin, dan disertai kajian non-detriment findings (NDF) yang memastikan aktivitas tersebut tidak merusak populasi di alam.
“Meski statusnya di IUCN Red List masih Least Concern, pemerintah tetap perlu berhati-hati. Kuota harus berbasis sains, pemasok harus legal, dan pemburu lokal perlu mendapat harga yang adil,” tegas Prof. Mirza.
Kebijakan berbasis sains menjadi kunci untuk memastikan perdagangan biawak tetap berkelanjutan tanpa mengorbankan fungsi ekologisnya.
“Kalau tata kelola tidak diperhatikan, bukan hanya ekosistem yang terganggu, tapi juga rantai ekonomi masyarakat lokal yang bergantung pada komoditas ini,” pungkasnya.